ntah untuk
keberapa kali, kasus meninggalnya warga Indramayu akibat miras ini sudah
terjadi. Sebagai kawasan pesisir, ’budaya’ minum-minuman keras memang seolah
tidak terlepas dari kebiasaan warganya. Bukan hanya di Indramayu, ’budaya’
mabuk juga ada di hampir semua kota/kabupaten, termasuk di Jawa Barat.
Ancaman kematian yang diakibatkan miras sendiri sudah menjadi perhatian dunia.
WHO mencatat, kematian akibat alkohol di dunia lebih banyak dibanding karena
penyakit HIV/AIDS. Hampir setiap hari, ada manusia yang mati setelah minum
miras. Pada 2011 lalu, WHO pun mencatat bahwa sebanyak 2,5 juta penduduk dunia
meninggal akibat alkohol atau sekitar 9% dari kematain itu terjadi pada kaum
muda yang berusia 15-29 tahun.
Pangkal sebab berjatuhannya korban jiwa akibat miras ini, tentunya karena
bebasnya beredar minuman yang diharamkan umat Islam tersebut. Siapa pun,
termasuk kalangan muda bahkan para remaja dengan mudah mendapatkan miras.
Padahal semua orang, khususnya pemerintah mengetahui dengan benar, bahayanya miras
tersebut.
Bebas beredarnya miras tentu sangat wajar terjadi, karena memang pengawasan
dari pemerintah yang mempunyai otoritas kebijakan, sangat rendah. Untuk
mengurusi miras yang sebenarnya menjadi masalah besar di negeri ini, pemerintah
hanya menerbitkan aturan sekelas keputusan presiden (kepres), yakni Kepres No
3/1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
Dalam kepres tersebut jelas tak ada kata larangan, yang ada hanya pengawasan
dalam peredarannya. Parahnya lagi, peredaran miras yang diawasi atau beredar
secar terbatas hanyalah minuman yang berkadar alkohol di atas 5%. Sedangkan
minuman beralkohol tipe A atau di bawah 5% dengan bebas diperjualbelikan oleh
masyarakat. Demikian pula dengan peraturan daerah yang banyak diterbitkan sejumlah
pemerintah daerah, khususnya tingkat II, seperti Perda Kota Bandung No 11/2010
tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol atau Perda
Kabupaten Indramayu No 15/2006 tentang Larangan Minuman Beralkohol.
Kendati ada kepres plus perda, tetap saja miras beredar bebas, termasuk yang
mempunyai kadar alkohol di atas 5%. Parahnya lagi, yang memperjualbelikannya
lebih banyak kalangan masyarakat bawah. Padahal dalam perda, jelas-jelas
disebutkan bahwa miras hanya boleh dijual di hotel-hotel berbintang, tidak di
kios-kios pingggir jalan.
Upaya menaikkan harga miras pun tak mempan menurunkan minta masyarakat
mengonsumsi miras. Buktinya, tak dapat sebotol miras asli yang harganya cukup
tinggi, warga Indramayu tersebut nekad menengggak miras oplosan.
Dalam memberantas perilaku mabuk-mabukan atau menenggak miras, memang tidak
mungkin berhasil hanya dengan kepres, perda, atau pengawasan dari para penegak
hukum. Perlu dibangun perubahan kebiasaan masyarakat yang gemar meminum miras.
Benteng akhlak dan norma agama, serta pendidikan sejak dini dalam keluarga,
bisa menjadi solusi jitu. Dari sisi pemerintah pun, harus ada kemauan politik
untuk benar-benar memberantas peredaran miras, bukan hanya melakukan
pengawasan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar