Pages - Menu

Senin, 04 Juni 2012

Awas, Bahaya Miras Masih Mengintai



E
ntah untuk keberapa kali, kasus meninggalnya warga Indramayu akibat miras ini sudah terjadi. Sebagai kawasan pesisir, ’budaya’ minum-minuman keras memang seolah tidak terlepas dari kebiasaan warganya. Bukan hanya di Indramayu, ’budaya’ mabuk juga ada di hampir semua kota/kabupaten, termasuk di Jawa Barat.

Ancaman kematian yang diakibatkan miras sendiri sudah menjadi perhatian dunia. WHO mencatat, kematian akibat alkohol di dunia lebih banyak dibanding karena penyakit HIV/AIDS. Hampir setiap hari, ada manusia yang mati setelah minum miras. Pada 2011 lalu, WHO pun mencatat bahwa sebanyak 2,5 juta penduduk dunia meninggal akibat alkohol atau sekitar 9% dari kematain itu terjadi pada kaum muda yang berusia 15-29 tahun.


Pangkal sebab berjatuhannya korban jiwa akibat miras ini, tentunya karena bebasnya beredar minuman yang diharamkan umat Islam tersebut. Siapa pun, termasuk kalangan muda bahkan para remaja dengan mudah mendapatkan miras. Padahal semua orang, khususnya pemerintah mengetahui dengan benar, bahayanya miras tersebut.

Bebas beredarnya miras tentu sangat wajar terjadi, karena memang pengawasan dari pemerintah yang mempunyai otoritas kebijakan, sangat rendah. Untuk mengurusi miras yang sebenarnya menjadi masalah besar di negeri ini, pemerintah hanya menerbitkan aturan sekelas keputusan presiden (kepres), yakni Kepres No 3/1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol.

Dalam kepres tersebut jelas tak ada kata larangan, yang ada hanya pengawasan dalam peredarannya. Parahnya lagi, peredaran miras yang diawasi atau beredar secar terbatas hanyalah minuman yang berkadar alkohol di atas 5%. Sedangkan minuman beralkohol tipe A atau di bawah 5% dengan bebas diperjualbelikan oleh masyarakat. Demikian pula dengan peraturan daerah yang banyak diterbitkan sejumlah pemerintah daerah, khususnya tingkat II, seperti Perda Kota Bandung No 11/2010 tentang Pelarangan, Pengawasan, dan Pengendalian Minuman Beralkohol atau Perda Kabupaten Indramayu No 15/2006 tentang Larangan Minuman Beralkohol.

Kendati ada kepres plus perda, tetap saja miras beredar bebas, termasuk yang mempunyai kadar alkohol di atas 5%. Parahnya lagi, yang memperjualbelikannya lebih banyak kalangan masyarakat bawah. Padahal dalam perda, jelas-jelas disebutkan bahwa miras hanya boleh dijual di hotel-hotel berbintang, tidak di kios-kios pingggir jalan.

Upaya menaikkan harga miras pun tak mempan menurunkan minta masyarakat mengonsumsi miras. Buktinya, tak dapat sebotol miras asli yang harganya cukup tinggi, warga Indramayu tersebut nekad menengggak miras oplosan.

Dalam memberantas perilaku mabuk-mabukan atau menenggak miras, memang tidak mungkin berhasil hanya dengan kepres, perda, atau pengawasan dari para penegak hukum. Perlu dibangun perubahan kebiasaan masyarakat yang gemar meminum miras. Benteng akhlak dan norma agama, serta pendidikan sejak dini dalam keluarga, bisa menjadi solusi jitu. Dari sisi pemerintah pun, harus ada kemauan politik untuk benar-benar memberantas peredaran miras, bukan hanya melakukan pengawasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman